TABUT INDONESIA

$rows[judul] Keterangan Gambar : Foto : Garuda Pancasila

Oleh : Syaukani Al Karim

(Penulis Adalah Seniman dan Budayawan Riau, Ketua KONI Kabupaten Bengkalis, Bermastautin di Bengkalis)

 

Saat duduk di bangku sekolah dasar, saya suka sekali membaca kisah tentang Bani Israil [Isra-El], sebuah wangsa yang penuh kontroversi, sebuah kaum yang kisahnya merebut begitu banyak halaman kitab-kitab samawi. Saya kagum, betapa Tuhan selalu sayang dengan mereka, meski mereka menunjukkan ke-bingal-an yang tiada tara dan ketekingan nan sempurna. Saya juga heran, mengapa Tuhan selalu memberikan mereka kesempatan, meski mereka tak segan membangkang dan membunuh para nabi, meski mereka menyembah segala yang mereka suka, meski mereka memaksa Sang Pencipta menampakkan wajah-Nya.

Saya juga suka kisah tentang Thalut, lelaki bukan bangsawan, yang menurut sebuah nujum, memenuhi kualifikasi Arsy sebagai raja. Lalu, kisah tentang pertarungan Daud dan Jalut [David dan Goliath]. Bagian cerita yang saya sukai adalah: Daud melumat dan membulatkan besi dengan tangannya, lalu melemparkannya dengan ketapel ke kepala Mammouth, gajah besar tunggangan Jalut, hingga tersungkur. Setelah Mammouth, ketapel Daut mengarah ke Jalut, kena kepalanya hingga pecah, dan Jalut pun mati. Sebuah bagian yang heroik dan menyenangkan untuk anak seusia saya waktu itu. Kisah ini begitu familiar, dan kita tahu endingnya, Bani Israel menang, Daud kemudian menjadi raja, dan tanah Israil makmur sejahtera.

Hari ini, saya membaca lagi kisah itu, tapi yang menarik hati, bukan lagi pertempuran Daud dan Jalut, tapi sebuah sisi kisah yang lain, yaitu tentang Tabut, sebuah kotak hitam persegi, yang diarak oleh Bani Israel di tengah-tengah pertempuran yang berkecamuk. Hari ini saya tahu, bahwa bukan semata Thalut atau Daud yang menjadi sumber kekuatan Bani Israel, tapi justru adalah Tabut itu sendiri.

Tabut, yang dipercayai berisi serpihan kepingan batu bertulis Sepuluh Perintah Tuhan [Ten Commandements] yang dipecahkan Musa di Bukit Thursina, menyatukan sejumlah perbedaan, corak, dan ragam pemikiran yang saban hari terjadi dan tak menemu kata putus. Kembalinya Tabut ke pangkuan, melahirkan keyakinan bahwa Tuhan sedang merestui mereka. Keyakinan dan persamaan persepsi itu memunculkan kekuatan, dan dari kekuatan itu, kemenangan, dalam arti apapun juga, sudah berada dalam sejangkau tangan.

Tabut adalah sebuah jalan hidup [way of life] yang paling lurus untuk sampai ke matlamat rahmat. Ia adalah sebuah keyakinan puncak dari kepercayaan atas sesuatu yang maha tinggi. Namun demikian, Tabut menjadi sebuah kekuatan, pada zaman Daud, bukan karena semata-mata karena isinya, tapi disebabkan karena bani Isra-El, pada waktu itu, menjalankan isinya dengan sungguh-sungguh, sehingga kekuatan tumbuh secara alamiah dalam diri, dalam komunitas, wangsa, dan negara, dan karena sikap yang sedemikian itu, Tuhan pun memberikan jalan kemenangan kepada mereka.

Indonesia juga memiliki sebuah Tabut, yang dengan Tabut itu, negara ini menunjukkan jatidirinya sebagai sebuah kekuatan baru dalam peradaban dunia. Tabut tersebut, berisi sejumlah endapan nilai-nilai transendental, berisi sulaman akar kearifan, dan padatan keluhuran semangat kebersamaan serta persatuan dari berbagai wilayah dan wangsa yang terserak dari Sabang sampai Marauke. Tabut Indonesia itu bernama Pancasila.

Pancasila, yang berisi 5 [lima] rukun kebangsaan, adalah payung dan sekaligus laluan, bagi bangsa Indonesia, setelah proklamasi, untuk menatap masa depan, untuk mewujudkan cita-cita bersama, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar: terciptanya masyarakat yang adil makmur, berbudi luhur, yang menjaga kemuliaan sesama, dengan mengharapkan ridla dan berkah Allah Yang Maha Kuasa.

Indonesia dan Pancasila, jika meminjam dan mengelaborasi konsep Ernest Renan, adalah kesepakatan dan kehendak bersama seluruh rakyat, yang muncul dari penderitaan bersama, untuk mencapai tujuan mulia bersama. Pancasila ini, setelah proklamasi kemerdekaan, menjadi semacam meriam spiritual dan hulu ledak kultural dalam menghadapi tantangan dunia yang penuh persaingan dan prasangka.

Dengan Pancasila, pasca kemerdekaan itu, Indonesia bangkit menjadi sebuah kekuatan baru dunia. Jika membaca sejarah, kita menyaksikan, bagaimana nilai-nilai Pancasila yang diamalkan oleh segenap bangsa, mampu meredam dan meredakan “keliaran” imajinasi berbangsa, baik yang dibangun dari berbagai sumber ideologi, kefanatikan wilayah, ataupun kesombongan kultural. Indonesia, dengan kekuatan Pancasila yang diamalkan, muncul menjadi negara yang disegani, menjadi negara yang kuat secara politik, menjadi bangsa yang ranggi secara kultural. Kelapangan hati segenap rakyat dan elemen bangsa memeraktekkan nilai-nilai Pancasila, memberi “seri” bagi pemimpin dan wajah Indonesia itu sendiri.

Kekuatan Pancasila sebagai sebuah Tabut Kekuatan, bukan semata-mata terletak pada isi dengan segala terjemahannya, tapi kekuatannya yang “pati”, datang dari keinginan seluruh rakyat untuk menjalankan nilai yang terkandung, dengan kesadaran yang putih: mengamalkan nilai keagamaan, menjaga toleransi, menjaga keberagaman, menjunjung persatuan, menjunjung jalan musyawarah, dan kemudian ditunjang oleh kesungguhan negara dalam meninggikan martabat rakyat melalui pemerintahan yang benar dan berkeadilan.

Kalau pada hari ini, kita melihat ada yang rapuh dalam bangunan kebangsaan kita, ada yang merenggang dalam persatuan kita, ada yang tersayat dalam kebersamaan kita, ada yang retak dalam tembok kebhinekaan kita, maka percayalah, itu semua terjadi karena kita semua gagal mengimpelentasikan nilai-nilai Pancasila dan kehidupan kita sehari-hari. Karena kita hanya seorang Pancasilais artifisial, hanya menjadikan Pancasila sebagai kata, bukan sebagai perbuatan. Karena kita hanya berkata: Saya Indonesia, Saya Pancasila, tapi pada saat yang sama, tangan nafsu dan prasangka kita sedang bersiap memberikan cap kepada orang lain: Kamu Tidak Indonesia, Kamu Tidak Pancasila.

Dari sisi rakyat, kita setiap hari berteriak tentang toleransi, tapi setiap hari pula kita saling hujat, kita gamang ketika tindakan toleransi harus menjadi bagian dari diri kita. Kita berteriak toleransi dengan hitung dagang: bertoleransi jika menguntungkan. Kita berteriak tentang persatuan, tapi kapak perpecahan terus kita takikkan ke setiap rekatan, kita berteriak “eka” dalam “bhineka”, tapi kita terus menista perbedaan yang ada. Kita berteriak tentang demokrasi dan kebebasan, tapi kita menolak ketika demokrasi meminta kerelaan, di saat kita kalah. Inilah kita, kata yang kehilangan makna.

Dari sisi pemerintah, hal yang lebih kurang sama terjadi. Negara meminta rakyat menjaga kerukunan, tapi begitu banyak kebijakan dan tindakan yang membuat kerukunan menjadi muram. Negara meminta rakyat menaati hukum, tapi di depan mata, hukum dijadikan pedang bagi kekuasaan. Negara berbicara tentang keadilan, tapi neraca keadilan tersimpan di lemari nafsu. Negara berkisah tentang kebersamaan, tapi keberpihakan atas nama kepentingan dipertontonkan. Lalu, dengan cara inikah kita menjaga Pancasila. Dengan cara inikah kita akan menepuk dada keindonesiaan kita?

Apa yang terjadi hari ini: Perbedaan yang kian menajam, persatuan yang kian dekat menuju tubir jurang, keadilan yang parau, dan perobekan kain toleransi, sudah harus kita hentikan. Jika tidak, Indonesia akan bergerak menuju sebuah fase yang menakutkan. Kita tidak ingin perpecahan menjadi sebuah takdir, kita tak ingin kehancuran menjadi sebuah kenyataan.

Setiap kita, pemerintah dan rakyat harus saling menjaga dan menguatkan dalam bingkai keadilan, karena itulah pangkal persoalan. Rakyat harus mendukung pemerintahan, dan pemerintah harus menjamin keadilan bagi semua. Raja Ali Haji, menyebut pola hubungan pemimpin dengan rakyat ini melalui dua kalimat yang pendek dalam Gurindam Dua Belas: “Betul hati kepada raja, tanda jadi sembarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat”.

Sesama warga dan rakyat, sudah waktunya kita berhenti untuk saling menghujat, saling curiga dan berprasangka, jika kita memang mengaku berpancasila. Mari kita saling memuliakan, saling berprasangka baik antara satu dengan yang lain, saling tolong menolong, saling bertoleransi dengan tulus, serta saling mencintai pihak lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Bukankah itu yang termaktub dalam semua agama? Bukankah itu yang diminta oleh Pancasila?

Mari percaya, bahwa setiap kita salah, meski mungkin pula setiap kita benar. Kebenaran dan kesalahan harus berani kita jinjing di pematang kearifan dan jalan jalan kemanusian yang teduh. Setiap kita harus berani mengokah kesadaran akan kedhaifan diri, dan dengan itu, maka kita, seperti kata Emmanuel Levinas, akan punya keberanian untuk saling bertanya: “Apa salahku padamu, Sahabat?”.

Serupa Tabut, kita memang harus mengarak kembali Pancasila dengan keyakinan yang penuh, dan menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai anutan kebangsaan. Kita harus terus mengaraknya dalam hati, dalam pikiran, dan tindakan. Hanya dengan itu, kita akan kembali memiliki kekuatan. Lalu kepedihan, yang sempat muncul, mari kita endapkan dalam tasik rindu kita yang dalam, tentang sebuah negeri yang penuh kemuliaan. Pun jika ada darah, yang pernah tumpah, dari setiap cinta kita yang luka, mari kita tanam dalam tanah kesadaran bahwa kita adalah satu, dan mari kita percaya, kelak akan mekar merah bunga. Wallahu ‘alam.***

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)