Cerpen : Muhammad Kafrawi / Hang Kafrawi
(Penulis Adalah Dosen Fakultas Budaya Universitas Lancang Kuning / Seniman Riau Penerima Anugerah Sagang Tahun 2015, Bermastautin di Pekanbaru)
Cu Man selalu memegang prisip bahwa anak
merupakan loyang atau wadah segala tingkah-laku orang tua. Anak seperti mutiara
yang belum diketahui oleh orang banyak: ia memancarkan kilauan suci kepolosan,
kejujuran, yang bisa berubah menjadi cahaya suram di masa akan datang:
tergantung tingkah-laku atau etika yang dicurahkan orang tua kepadanya.
Entah mengapa, perasaan sebagai anak muncul seketika di benak Cu Man. Padahal
usianya sudah mencapai 60 tahun. Tentu saja angka 60 tahun terlalu over untuk
disebut sebagai anak, dan kalaupun diri mau mengaku 60 tahun sebagai anak, itu
namanya buang tebiat alias nak mati. Tapi bukan itu yang menjadi alasan Cu Man:
pandangan atau penglihatan terhadap sesuatu objek menciptakan tasik pemikiran
di benak manusia, termasuk Cu Man, dan hal inilah yang sedang dialami Cu Man.
Empat hari yang lalu, Sulaiman bin Abdul Rahman dan orang kampungnya lebih
senang memanggilnya Cu Man, baru saja sampai di Kota Pekanbaru dan menginap di
rumah anak saudara atau lebih keren keponakannya. Cu Man baru pertama kali
datang di Kota Bertuah ini (kata orang bertuah, tapi entahlah). Kedatangan Cu
Man ke kota ini
tidak mempunyai misi politik atau pun misi kebudayaan. Sebagai orang yang
dilahirkan, dibesarkan dan mungkin saja dikuburkan di provinsi ini, rasanya
janggal kalau tidak melihat langsung ibu kota
provinsi yang dibangga-banggakan selama ini. Cu Man memang beruntung
dibandingkan dengan orang-orang di kampungnya. Walaupun tidak menjadi PNS, Cu
Man mempunyai banyak tanah pusaka dari abahnya. Dan dari penjualan sebidang
tanah itu, Cu Man berangkat ke ibu kota
Provinsi Riau ini untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Anak saudara alias keponakan Cu Man kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dari pagi,
sejak Cu Man menyejakkan kaki di rumah kosnya jam 8 tadi, sampai Mahgrib ini,
batang hidung anak saudaranya itu tak nampak. Untung saja Cu Man orangnya cepat
akrab dengan siapa pun juga, sehingga kawan-kawan satu kos anak saudaranya suka
berbual dengan Cu Man dan hasilnya, Cu Man dah pulak diajak berjalan-jalan di
sebagian kota
ini.
Azan Maghrib berkumandang ke angkasa bersaut-sautan dari masjid-masjid.
Kebiasaan Cu Man bersembahyang berjamaah di masjid, dikurungnya di dalam hati,
sebab Cu Man takut kalau anak saudaranya balik, ia tidak ada di kos. Tentu saja
pikiran anak saudaranya bermacam-macam. Cu Man selalu menjaga perasaan orang,
termasuk orang muda bahkan anaknya sekali pun. Bagi Cu Man, tingkah-laku baik
itu harus datang dari orang tua dan anak muda diwajibkan mengikutnya. Kalaulah
orang tua tidak semengah kelakuannya, apatah lagi anak muda.
Apa yang direncanakan, kadang kala tidak sesuai dengan hasilnya. Dan hal itulah
yang terjadi pada diri Cu Man. Anak saudara yang ditunggu-tunggu, sampai
selesai Cu Man mengerjakan sembahyang Maghrib tidak juga balik. Cu Man teringat
buku yang ia baca sebulan yang lalu, karangan Albert Camus tentang
ketidakpastian di dunia ini, yang pasti hanya kematian, itupun tidak dapat
dipastikan datangnya. Semuanya absurd, termasuk pikiran Cu Man terhadap anak
saudaranya yang tak balik-balik.
Padahal Cu Man telah membuat rencana: sampai saja anak saudaranya di kos, Cu
Man akan mengajak anak saudaranya itu makan di kedai makan yang paling sedap.
Tapi itulah, rencana tinggal rencana, kini perut Cu Man dah pun terasa perih
karena lapar.
Cu Man tak mampu menahan laparnya. Sarung dibuka dan diganti dengan celana
panjang dan Cu Man bergegas meninggalkan kamar kos anak saudaranya. Terulang
kembali, rencana dikalahkan oleh hasilnya: Cu Man tidak melihat kawan-kawan
satu kos anak saudaranya, semuanya dah pergi. Padahal terlintas dalam
pikirannya mengajak satu-dua kawan kos anak saudaranya pergi makan. Tinggalah
Cu Man sendiri dan Cu Man membuat keputusan berjalan kaki ke kadai makan.
Kebetulan ketika masuk gang menuju kos anak saudaranya tadi, Cu Man nampak
kedai makan tak jauh dari gang, kira-kira 200 meter jaraknya.
Cu Man dengan langkah tegap, menuju rumah makan itu. Cu Man selambe alias tidak
kelihatan bingung, sebab kata orang-orang kampung yang pernah pergi ke kota, berjalan di kota tak usah nampak
bingung, kalau nampak bingung banyak penjagak alias penjahat mendatangi kita.
Kalau sudah datang penjagak, apalagi tumpou kelelat apa yang kita punya.
Berpedoman pijakan inilah, Cu Man terus melangkah dan akhirnya Cu Man sampai di
rumah makan. Rasa bingung yang dipendam jauh-jauh tadi, muncul secara tiba-tiba
pada diri Cu Man. Cu Man bingung, bagaimana cara memesan makanan. Lama juga Cu Man
tertegun, berdiri seperti patung dekat pintu rumah makan, dan akhirnya seorang
pelayan menyapa Cu Man.
“Masuk saja, Pak.”
Macam tersembar petir tunggal, Cu Man tergagau dan melangkah masuk ke rumah
makan itu.
“Silakan duduk, Pak.”
Seperti kerbau ditarik hidungnya, Cu Man mengikuti perintah pelayan tersebut.
Wajah Cu Man kelihatan pucat, tapi perlahan-lahan normal kembali, setelah
keyakinan mengembang seperti balon dalam hati Cu Man. “Aku manusia, dia manusia, kenapa harus
takut,” bisik Cu Man dalam hati.
“Bapak mau makan pakai hidang atau nasi ramas?” pelayan bertanya.
Mendengar nasi ramas, muka Cu Man memerah. Cu Man terasa terhina.
“Kau pikir aku tidak punya duit?” tanya Cu Man dengan marah. Cu Man tidak
peduli orang-orang di rumah makan itu melihat dirinya. Penghinaan bagi Cu Man
adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.
“Maksud Bapak?”
“Kenapa kau menawarkan aku nasi yang sudah kau ramas?”
Pelayan tersenyum mengerti, sementara orang-orang yang melihat Cu Man juga ikut
tersenyum geli, sambil melanjutkan aktivitas mereka kembali.
“Kau menghina aku lagi, ya?” Cu Man mau berdiri.
“Sabar Pak. Saya tidak menghina Bapak, sama sekali tidak. Nasi ramas itu,
sepering nasi lengkap ada sambal dan sayurnya, Pak.”
“Oooo, aku pikir nasi ramas itu diramas terlebih dahulu, seperti aku memberi
kucing makan. Maafkan aku ya Nak.” Cu Man mengulur tangannya untuk bersalaman
dan palayan tersebut mengulurkan juga tangan.
“Mana mahal, nasi ramas atau hidangan?” Cu Man bertanya dengan suara agak
pelan.
“Hidangan sedikit lebih mahal, Pak,” kata pelayan itu dengan senyum.
Cu Man berpikir sejenak. Ia seakan ingin melunaskan tindakan bodoh tadi dengan
memesan yang agak mahal.
“Kalau begitu, aku pesan yang pakai hidangan,” kata Cu Man sembil menganggukkan
kepala.
Pelayan rumah makan tersebut dengan kepala juga ikut mengangguk, meninggalkan
Cu Man. Untuk menguasai diri Cu Man melihat sekelilingnya. Kalau ada orang
melihat ke arah dirinya, Cu Man tersenyum pada orang tersebut, dan orang
tersebut membalas senyuman Cu
Man.
Sesaat kemudian pelayan tadi datang membawa hidangan dengan menggunakan
tangannya. Cu Man heran, melihat piring-piring tersusun rapi mulai dari
jari-jari sampai ke pangkal lengan. Cu Man mengeleng-ngelengkan kepalanya tanda
salut. Dengan cekatan pelayan itu meletakkan piring-piring di atas meja di
hadapan Cu Man. Cu Man heran lagi, karena banyak betul lauk-pauk yang
dihidangkan. Cu Man berdiri dan ia berbisik ke telinga pelayan.
“Tidak harus dihabiskan semua lauk-pauknya, kan?”
“Tidak Pak. Tergantung Bapak mau makan yang mana,” balas pelayan dengan senyum.
“Kalau begitu, terima kasih ya,” Cu Man duduk kembali, sementara pelayan pergi
meninggalkan Cu Man.
Cu Man menyuap makanan tersebut dengan senang hati. Tiba-tiba saja, ketika
sedang menyuap makanan yang entah berapa kalinya, Cu Man teringat almarhumah
emaknya. Waktu Cu Man kecil-kecil dahulu, maknya selalu berpesan agar kalau
makan tidak boleh telojuk atau buru-buru dan berlebihan. Makan seadanya. Mak
bagi Cu Man adalah pelita yang selalu menerangi dalam melapah kehidupan ini.
Dari emaknya juga, Cu Man selalu memahami hidup ini dengan kesabaran dan
tawakal. Selain itu, emaknya juga selalu menanam rasa kasih sayang kepada siapa
pun juga, walaupun hati kita terluka. Mengerjakan sembahyang lima waktu yang tidak pernah Cu Man
tinggalkan selama ini, juga berasal dari nasehat emaknya. Kata mak Cu Man,
“Bukan lama mengerjakan sembahyang, untuk mengingat Allah, paling lama 5 menit.
Coba kau bayangkan berapa banyak waktu yang telah diberikan Allah kepada dikau?”
Cu Man menangis. Ia berhenti makan, mengingat emaknya perutnya terasa kenyang.
Tapi tiba-tiba, hati Cu Man terhenyak, ketika suara seorang anak keras
menghardik orang tuanya.
“Mama ni, Ryan terus yang disalahkan. Padahal Mama yang memaksa Ryan makan!” Suara
anak itu membuat Cu Man mengalihkan pandangan ke arah meja anak tersebut. Cu
Man melihat seorang anak lelaki sedang cemberut di hadapan kedua orang tuanya.
Kedua orang tua tersebut masih muda, sang suami kira-kira berusia 30-an, sang
istri 20-an dan anaknya kira-kira berusia 10 tahun.
“Ryan harus makan, agar Ryan tidak sakit,” suara ibu anak itu lembut memujuk.
“Ah! Kalau Mama mau makan, makan saja sendiri!” anak itu membanting piringnya.
Cu Man berdiri dan melangkahkan kaki ke arah meja tersebut. Ia melihat anak itu
seperti cucunya. Dan tanpa ragu Cu Man memiat alias menjewer telinga anak
tersebut.
“Sama orang orang tua tidak boleh berkata kasar!” kata Cu man geram.
Anak itu menangis keras. Tiba-tiba sebuah pukulan (buku tinju) keras mendarat
ke muka Cu Man. Cu Man terduduk, bapak sang anak menghampiri Cu Man dan ingin
melayangkan kembali tinju yang kedua, namun orang-orang yang dekat di meja itu
menahannya. Ibu sang anak tidak tinggal diam. Dia menghampiri Cu Man.
“Ini anak aku, bukan anak kau!” kata ibu sang anak.
Cu Man tidak dapat berkata apa-apa. Ia berdiri dan melihat satu-persatu
keluarga itu. Dengan air mata bercucuran Cu Man meninggalkan rumah makan itu.
Baru tiga langkah meninggalkan pintu rumah makan tersebut, pelayan tadi berlari
menghampiri Cu Man.
“Maaf Pak, Bapak belum bayar,” di wajah pelayan itu terlihat kesedihan
berhadapan dengan Cu Man.
“Oh, maafkan saya, saya lupa,” Cu Man mengeluarkan uang 50 ribu rupiah dan
kemudian melangkah dengan menundukkan kepala.
“Pak, kembaliannya...” ujar pelayan.
“Sudah, ambil saja,” Cu Man terus melangkah masih tetap menundukan kepala.***
Tulis Komentar